NAMA : DELFI NOFITA SARI
NIM : 166048
KELAS : PBSI 2016 A
MATA KULIAH : MORFOLOGI
PROBLEMA
MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA
Menurut
(Muslich 2010:131), setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun
dikatakan mempunyai sistem, dalam pemakaian selalu timbul masalah-masalah, baik
masalah yang berhubungan dengan bunyi, bentukan kata, penulisan maupun
pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang
seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemaiaki bahasa yang
bersangkutan.
Pemakaian
kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema :
1) Problema
akibat bentukan baru,
2) Problema
akibat kontaminasi,
3) Problema
akibat adanya unsur serapan,
4) Problema
akibat analogi,
5) Problema
akibat perlakuan kluster,
6) Problema
akibat morfologis bentuk serapan, dan
7) Problema
akibat perlakuan bentuk majemuk.
A. PROBLEMA
AKIBAT BENTUKAN BARU
Menurut (Muslich 2010:131), Pada
akhir-akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai
bahasa Indonesia. Misalnya bentuk :
·
Memberhentikan
·
Memberlakukan
·
Keberhasilan
·
Keterbelakangna
·
Dikesankan
·
Dikekirikan
·
Turunisasi
·
Lelenisasi
·
Duniawi
·
Badani, misalnya dalam
kalimat :
1. Direktur CV “Marga” telah memberhentikan
sekretarisnya.
|
2. Apakah Saudara tidak tahu bhawa
Ketua RT telah memberlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu ?
|
3. Keberhasilan yang andai capai
selama ini harus Anda pertahankan.
|
4. Kita harus belajar giat agar
keterbelakangan kita tidak terulang.
|
5. Agar tidak semrawut,
barang-barang ini perlu dikesankan.
|
6. Supaya lapang, letak tiang ini
sebaiknya dikekirikan sja.
|
7. Program turinisasi di daerah
Probolinggo telah berhasil.
|
8. Program lelenisasi sangat tepat
dilakukan di daerah-daerah rawa.
|
9. Sebagai manusia sosial, kita
ahrus manusiawai terhadapa sesama.
|
10. Menurut cerita barang siapa
minum air surgawai akan awet muda.
|
Bentuk memberhentikan dan
memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkonstruksi demikian
(yaitu prefiks+prefiks +bentuk dasar+ sufiks) sebelumnya tidak ditemukan. Dari
kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan:”Apakah dibenarkan suatu konstruksi yang
dibentuk denagn dua prefiks?’’ pertanyaan itu akibat ketidaktahuannya atas
proses pembentukan konstruksi diatas.
ber- henti ber- laku
Dari diagram itu juga terliaht bahwa
bentuk dasar konstruksi memberhentikan adalah berhenti, sedangkan bentuk dasar
konstruksi memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Dengan
demikian walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi itu tetap dibenarkan selain
bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga konstruski diberhentikan,
diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konnstruksi
keberhasilan dan keterbelakangan ? proses pembentukan konstruksi ini sama
dengan proses pementukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap.
Demikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan
belakang.
Konstruksi dikesankan dan dikekirikan
merupakan bentuk baru sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan.
Konstruksi ini bentuk dasar frase, yaitu kesana, kekiri, kesamping, dan ke
muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak berlaku monomorfemis,
tetapi juga polimorfemis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morem.
Konstruksi turinisasi dadn lelenisasi
juga merupakan bentuk baru akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis
bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks {-(n)isasi} berasal dari bahasa inggris
–(n)ization. Bentuk afiks ini, apabila menempel pada bentuk adsar bahasa yang
bersangkutan misalnya modernisasi (“modernization”), standartisasi
(“standardization”), berati hal yang berhubungan denagn bentuk dasarnya’ yang
berfungsi pembedaan secara abstrak.
Konstruksi lain yang tergolong
bentukan baru adalah konstruksi manusiawai dan surgawi. Konstruksi itu
mengalami proses morfologis dengan jalan menambhakan morfem afiks {-wi}pada
bentuk dasar manusia dan surga.
Ternyata akhiran –wi (-i) yang
berasal dari bahsa Arab itu, setelah konsep kedalam bhasa Indonesia,
diberlakukan sebagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu, afiks-wi(-i)
sekarang mampu bergandeng denagn bentuk dasar selain dari bahasa alinya (
bahasa Arab) .
B. PROBLEMA
AKIBAT KONTAMINASI
Menurut (Muslich 2010:134), Kontaminasi merupakan
gejala bahasa yang mengacau konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang
mestinya harus berdiri sendiri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi satu
konstruksi. Akibatnya, konstruksi menjadi kacau atu rancu artinya.kontaminasi
dalam konstruksi kata, misalnya “diperlebar”, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan merupakan hasil pencampuradukan kostruski
diperlebar dan dilebarkan yang masing-masing berarti ‘ dibuat jadi lebih besar
lagi’ dan ‘dibuat jadi lebar’. Oleh karena itu, konstruksi diperlebarkan
dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi* mengenyampingkan juga
dianggap sebagi konstruksi yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi
mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi
morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping dan bentuk ke
samping.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan
hasil pencampuran konstruski dipelajarai dan diajarkan, yang masing-masing
mempunyai arti sendiri. Denagn pencampuran itu artinya artinay menjadi kabur.
Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang rancu.
C.
PROBLEMATIKA
AKIBAT UNSUR SERAPAN
Menurut (Muslich 2010:135), adanya unsur bahasa asing yang terserap alam bahasa
Indonesia juga membuat problema tersendiri. Yang terlihat pada kekacauan dan
keraguan pemakaian bentuk
Ø data – data, datum – datum,
Ø fakta – fakta, faktum – faktum,
Ø alumni, alumnus, para alumni, para alumnus
Kata data
dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus berasal
ari bahasa Latin, yang masing – masing kata berarti ‘jamak’ dan ‘tunggal’.
Setelah terserap dalam bahasa Indonesia hanya bentuk jamaknya yaitu data,
fakta, dan alumni. Sedangkan tunggalnya yaitu datum, faktum,
dan alumnus yang tidak terserap dalam bahasa Indonesia.
Unsur asing yang
terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan
berarti tunggal. Contoh dalam kontruksi kata berikut:
Ø
data – data
Ø fakta – fakta
Ø para alumni benar
Ø banyak data
Ø banyak fakta
Ø
datum – datum
Ø faktum – faktum salah
Ø para alumnus
Ø
para hadirin
Ø hadirin sekalian dianggap benar, walaupun dalam bahasa
asingnya (bahasa Arab) berarti ‘jamak’.
Ø para ulama
Ø para arwah (pahlawan)
D.
PROBLEMA
AKIBAT ANALOGI
Menurut (Muslich
2010:136) sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut
contoh yang sudah ada. Gelaja analogi sangat penting dalam pemakaian bahasa
karena pada dasarnya pemakaian bahasa dalam menyusun kalimat, frase, dan kata
beranalogi pada contoh yang telah ada atau yang telah diketahuinya. Contoh:
Ø
Ketidakadilan membentuk
kontruksi ketidakberesan
Ø
Dikesampingkan membentuk
kontruksi dikekanankan
Ø
Pemersatu ‘yang mempersatu’ membentuk kontruksi memperhati
Ø
Penyuruh dan
pesuruh (yang masing – masing berarti orang yang menyuruh dan orang yang
disuruh) membentuk pasangan penatar
Masalah
selanjutnya adalah banyaknya pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi
akibat ketidakpahaman mereka terhadap bentuk – bentuk yang dicontohkannya dan
dibuatnya. Misalnya pihak = fihak, anggota = anggauta, dan kata serapan alternative
= alternasi.
Kata pihak =
fihak adlah contoh bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan lagi ke bunyi
aslinya, yaitu [f]. Pengembalian kata pikir, paham, dan pascal menjadi
kata fikir, faham,dan fatsal adalah benar karena kata tersebut
berasal dari bahasa Arab. Kata pihak = fihak adalah hasil analogi yang salah karena kata pihak
bukan dari bahasa Arab, melainkan
dari bahasa Melayu.
Begitu juga dengan
kata anggota = anggauta. Orang menganggap bahwa kata anggota
sebagai hasil dari kata anggauta sebagaimana halnya dengan kata topan dan tobat senagai hasil sandi dari kata
taufan dan taubat. Oleh sebab itu kata angguta dianggap
sebagai analogi yang salah.
Ada pula kata
serapan yang dianalogikan secara salah. Bentuk yang berakhiran dengan if biasanya berkelas kata sifat, sedangkan yang
berakhiran si biasanya berkelas kata benda. Contoh:
Ø Alterntif menjadi alternasi
Ø Produktif menjadi
produksi
Ø Kompetitif menjadi
kompetisi
Ø Edukatif menjadi
edukasi
E. PROBLEMA AKIBAT
PERLAKUAN KLUTSER
Klutser atau konsonan rangkap
mengundang problem tersendiri dalam pembentukn kata bahasa Indonesia. Hal ini
disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal klutser. Kata yang berklutser
(yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan. Misalnya program,
proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala,
klasifikasi, kritik, kronologi. Kata – kata ini, apabila dibentuk dengan afiks yang bernasal seperti
{meN-(kan/i} dan {peN-(an)}.
I II
Memprogramkan memrogramkan
Pemprograman pemrograman
Memproklamasikan memroklamasikan
Pemproklamasian pemroklamasian
Apabila menurut
sistem bahasa Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan II. Tetapi,
ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
1.
Bentuk serapan
di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu
konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan k, p, t, s);
2.
Apabila
diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk
aslinya;
3.
Ada beberapa
bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.
Oleh karena
itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk
serapan yang berklutser.
F. PROBLEMA AKIBAT
PROSES MORFOLOGI UNSUR SERAPAN
Menurut
(Muslich 2010:138) Pada dasarnya,
bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1.
Bentuk serapan
yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak terasa
lagi keasingannya. Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara
penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses morfologisnya.
2.
Bentuk serapan
yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya. Kelompok kedua ini belum
dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia.
Hampir semua
bentuk serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks
atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah “Apakah semua bentuk serapan
mengikuti sistem pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam
bentuk-bentuk bahasa Indonesia asli?” masalah ini timbul karena terdapat
persaingan pemakaian pasangan konstruksi. Misalnya, menterjemahkan dan
menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan memarkir, mengkalkulasi
dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah
yang belum diasimilasikan?.
Berdasarkan
pengelompokkan bentuk serapan diatas, kiranya kita dapat menyikapi apakah
bentuk terjemah sudah lama terserap kedalam bahasa Indonesia atau belum. Jika
sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh
mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah
digabungkan dengan {meN-kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan
sistem bahasa Indonesia, for [p] yang mengawali bentuk dasar akan luluh apabila
bergabung dengan afiks {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)}.
G. PROBLEMA AKIBAT PERLAKUKAN BENTUK MAJEMUK
Problema
morfologis terakhir yang berhasil dicatat yaitu problema akibat bentuk majemuk.
Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk
majemuk, yaitu benuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap satu kesatuan dan
bentuk majemuk yang dianggap renggang.
Pendapat Pertama
(unsur-unsur padu)
|
Pendapat Kedua
(unsur-unsur renggang)
|
Tanggung jawab
|
|
Warga negara
|
|
Sebar luas
|
|
Kesimpulannya dapat diketahui bahwa pendapat yang benar adalah
pendapat pertama, karena suatu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila
unsur-unsurnya pekat dan padu. Jika sebaliknya, unsur-unsurnya longgar maka
tidak dapat dikatakan bentuk majemuk, tetapi frase.
DAFTAR PUSTAKA:
Masnur,Muslich.2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar