Rabu, 10 Januari 2018

PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA

NAMA       : DELFI NOFITA SARI
NIM            : 166048
KELAS       : PBSI 2016 A
MATA KULIAH  : MORFOLOGI
PROBLEMA MORFOLOGIS DALAM BAHASA INDONESIA
Menurut (Muslich 2010:131), setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, walaupun dikatakan mempunyai sistem, dalam pemakaian selalu timbul masalah-masalah, baik masalah yang berhubungan dengan bunyi, bentukan kata, penulisan maupun pemakaian kalimat. Hal itu disebabkan oleh sifat bahasa yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan pikiran dan budaya pemaiaki bahasa yang bersangkutan.
Pemakaian kata dalam bahasa Indonesia juga menimbulkan problema-problema :
1)      Problema akibat bentukan baru,
2)      Problema akibat kontaminasi,
3)      Problema akibat adanya unsur serapan,
4)      Problema akibat analogi,
5)      Problema akibat perlakuan kluster,
6)      Problema akibat morfologis bentuk serapan, dan
7)      Problema akibat perlakuan bentuk majemuk.

A.    PROBLEMA AKIBAT BENTUKAN BARU
Menurut (Muslich 2010:131), Pada akhir-akhir ini, banyak sekali bentukan baru sebagai hasil kreasi pemakai bahasa Indonesia. Misalnya bentuk :
·         Memberhentikan
·         Memberlakukan
·         Keberhasilan
·         Keterbelakangna
·         Dikesankan
·         Dikekirikan
·         Turunisasi
·         Lelenisasi
·         Duniawi
·         Badani, misalnya dalam kalimat :
1. Direktur CV “Marga” telah memberhentikan sekretarisnya.
2. Apakah Saudara tidak tahu bhawa Ketua RT telah memberlakukan keputusan rapat warga seminggu yang lalu ?
3. Keberhasilan yang andai capai selama ini harus Anda pertahankan.
4. Kita harus belajar giat agar keterbelakangan kita tidak terulang.
5. Agar tidak semrawut, barang-barang ini perlu dikesankan.
6. Supaya lapang, letak tiang ini sebaiknya dikekirikan sja.
7. Program turinisasi di daerah Probolinggo telah berhasil.
8. Program lelenisasi sangat tepat dilakukan di daerah-daerah rawa.
9. Sebagai manusia sosial, kita ahrus manusiawai terhadapa sesama.
10. Menurut cerita barang siapa minum air surgawai akan awet muda.

Bentuk memberhentikan dan memberlakukan tergolong bentuk baru sebab bentuk yang berkonstruksi demikian (yaitu prefiks+prefiks +bentuk dasar+ sufiks) sebelumnya tidak ditemukan. Dari kenyataan itu, lalu timbul pertanyaan:”Apakah dibenarkan suatu konstruksi yang dibentuk denagn dua prefiks?’’ pertanyaan itu akibat ketidaktahuannya atas proses pembentukan konstruksi diatas.
            Memberhentikan                                                         Memberlakukan
meN-kan                                 berhenti                       meN-kan                        berlaku
                                    ber-                              henti                                        ber-      laku

Dari diagram itu juga terliaht bahwa bentuk dasar konstruksi memberhentikan adalah berhenti, sedangkan bentuk dasar konstruksi memberlakukan adalah berlaku, dan bukan henti dan laku. Dengan demikian walaupun terdapat dua prefiks, konstruksi itu tetap dibenarkan selain bentuk menghentikan dan melakukan. Begitu juga konstruski diberhentikan, diberlakukan, dimengerti, diberangkatkan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan konnstruksi keberhasilan dan keterbelakangan ? proses pembentukan konstruksi ini sama dengan proses pementukan konstruksi memberhentikan, yaitu secara bertahap. Demikian, bentuk dasarnya adalah berhasil dan terbelakang, bukan hasil dan belakang.
Konstruksi dikesankan dan dikekirikan merupakan bentuk baru sebagai hasil analogi bentuk dikemukakan dan dikesampingkan. Konstruksi ini bentuk dasar frase, yaitu kesana, kekiri, kesamping, dan ke muka. Konstruksi ini dibenarkan sebab bentuk dasar tidak berlaku monomorfemis, tetapi juga polimorfemis, bisa dua morfem, tiga morfem, empat morem.
Konstruksi turinisasi dadn lelenisasi juga merupakan bentuk baru akibat perlakuan afiks asing dalam proses morfologis bahasa Indonesia. Kita tahu bahwa afiks {-(n)isasi} berasal dari bahasa inggris –(n)ization. Bentuk afiks ini, apabila menempel pada bentuk adsar bahasa yang bersangkutan misalnya modernisasi (“modernization”), standartisasi (“standardization”), berati hal yang berhubungan denagn bentuk dasarnya’ yang berfungsi pembedaan secara abstrak.
Konstruksi lain yang tergolong bentukan baru adalah konstruksi manusiawai dan surgawi. Konstruksi itu mengalami proses morfologis dengan jalan menambhakan morfem afiks {-wi}pada bentuk dasar manusia dan surga.
Ternyata akhiran –wi (-i) yang berasal dari bahsa Arab itu, setelah konsep kedalam bhasa Indonesia, diberlakukan sebagai afiks bahasa Indonesia. Oleh karena itu, afiks-wi(-i) sekarang mampu bergandeng denagn bentuk dasar selain dari bahasa alinya ( bahasa Arab) .
B.     PROBLEMA AKIBAT KONTAMINASI
Menurut (Muslich 2010:134), Kontaminasi merupakan gejala bahasa yang mengacau konstruksi kebahasaan. Dua konstruksi, yang mestinya harus berdiri sendiri sendiri secara terpisah, dipadukan menjadi satu konstruksi. Akibatnya, konstruksi menjadi kacau atu rancu artinya.kontaminasi dalam konstruksi kata, misalnya “diperlebar”, *mengenyampingkan, *dipelajarkan.
Konstruksi *diperlebarkan  merupakan hasil pencampuradukan kostruski diperlebar dan dilebarkan yang masing-masing berarti ‘ dibuat jadi lebih besar lagi’ dan ‘dibuat jadi lebar’. Oleh karena itu, konstruksi diperlebarkan dianggap sebagai konstruksi yang rancu.
Konstruksi* mengenyampingkan juga dianggap sebagi konstruksi yang rancu sebab merupakan hasil pemaduan konstruksi mengesampingkan dan menyampingkan. Yang dikacaukan bukan artinya, tetapi morfofonemisnya, yaitu meluluhkan bunyi [s] pada ke samping dan bentuk ke samping.
Konstruksi *dipelajarkan merupakan hasil pencampuran konstruski dipelajarai dan diajarkan, yang masing-masing mempunyai arti sendiri. Denagn pencampuran itu artinya artinay menjadi kabur. Oleh sebab itu, bentuk itu dikatakan sebagai bentuk yang rancu.
C.    PROBLEMATIKA AKIBAT UNSUR SERAPAN
Menurut (Muslich 2010:135), adanya unsur bahasa asing yang terserap alam bahasa Indonesia juga membuat problema tersendiri. Yang terlihat pada kekacauan dan keraguan pemakaian bentuk
Ø  data – data, datum – datum,
Ø  fakta – fakta, faktum – faktum,
Ø  alumni, alumnus, para alumni, para alumnus
Kata data dan datum, fakta dan faktum, alumni dan alumnus berasal ari bahasa Latin, yang masing – masing kata berarti ‘jamak’ dan ‘tunggal’. Setelah terserap dalam bahasa Indonesia hanya bentuk jamaknya yaitu data, fakta, dan alumni. Sedangkan tunggalnya yaitu datum, faktum, dan alumnus yang tidak terserap dalam bahasa Indonesia.
Unsur asing yang terserap ke dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai satu kesatuan bentuk dan berarti tunggal. Contoh dalam kontruksi kata berikut:
Ø  data – data
Ø  fakta – fakta
Ø  para alumni                            benar
Ø  banyak data
Ø  banyak fakta

Ø  datum – datum
Ø  faktum – faktum              salah
Ø  para alumnus

Ø  para hadirin
Ø  hadirin sekalian                                  dianggap benar, walaupun dalam bahasa
asingnya (bahasa Arab) berarti ‘jamak’.
Ø  para ulama
Ø  para arwah (pahlawan)
D.    PROBLEMA AKIBAT ANALOGI
Menurut (Muslich 2010:136) sebagai istilah bahasa, analogi adalah bentukan bahasa dengan menurut contoh yang sudah ada. Gelaja analogi sangat penting dalam pemakaian bahasa karena pada dasarnya pemakaian bahasa dalam menyusun kalimat, frase, dan kata beranalogi pada contoh yang telah ada atau yang telah diketahuinya. Contoh:
Ø  Ketidakadilan membentuk kontruksi                         ketidakberesan
                                                                                                ketidakbaikan
Ø  Dikesampingkan membentuk kontruksi                     dikekanankan
dikesanakan
dikesinikan
Ø  Pemersatu ‘yang mempersatu’ membentuk kontruksi memperhati
Ø  Penyuruh dan pesuruh (yang masing – masing berarti orang yang menyuruh dan orang yang disuruh) membentuk pasangan                         penatar
petatar
pendaftar
pedaftar
Masalah selanjutnya adalah banyaknya pemakai bahasa (Indonesia) yang salah analogi akibat ketidakpahaman mereka terhadap bentuk – bentuk yang dicontohkannya dan dibuatnya. Misalnya pihak = fihak, anggota = anggauta, dan kata serapan alternative = alternasi.
Kata pihak = fihak adlah contoh bunyi [p] pada unsur serapan dikembalikan lagi ke bunyi aslinya, yaitu [f]. Pengembalian kata pikir, paham, dan pascal menjadi kata fikir, faham,dan fatsal adalah benar karena kata tersebut berasal dari bahasa Arab. Kata pihak = fihak  adalah hasil analogi yang salah karena kata pihak  bukan dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Melayu.
Begitu juga dengan kata anggota = anggauta. Orang menganggap bahwa kata anggota sebagai hasil dari kata anggauta  sebagaimana halnya dengan kata topan  dan tobat senagai hasil sandi dari kata taufan dan taubat. Oleh sebab itu kata angguta dianggap sebagai analogi yang salah.
Ada pula kata serapan yang dianalogikan secara salah. Bentuk yang berakhiran dengan if  biasanya berkelas kata sifat, sedangkan yang berakhiran si biasanya berkelas kata benda. Contoh:
Ø  Alterntif  menjadi alternasi
Ø  Produktif menjadi produksi
Ø  Kompetitif menjadi kompetisi
Ø  Edukatif menjadi edukasi
E.     PROBLEMA AKIBAT PERLAKUAN KLUTSER
Klutser atau konsonan rangkap mengundang problem tersendiri dalam pembentukn kata bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan bahwa kata bahasa Indonesia asli tidak mengenal klutser. Kata yang berklutser (yang dipakai dalam bahasa Indonesia) itu berasal dari unsur serapan. Misalnya program, proklamasi, prakarsa, traktir, transfer, transkripsi, sponsor, standar, skala, klasifikasi, kritik, kronologi. Kata – kata ini, apabila dibentuk dengan afiks yang bernasal seperti {meN-(kan/i} dan {peN-(an)}.
I                                   II
Memprogramkan        memrogramkan
Pemprograman            pemrograman
Memproklamasikan     memroklamasikan
Pemproklamasian       pemroklamasian
Apabila menurut sistem bahasa Indonesia, kita cenderung memilih/menggunakan deretan II. Tetapi, ada beberapa keberatan/kelemahannya, antara lain:
1.      Bentuk serapan di atas berbeda sifatnya dengan bentuk dasar bahasa Indonesia asli, yaitu konsonan rangkap dan tidak (walaupun keduanya berawal dengan k, p, t, s);
2.      Apabila diluluhkan, kemungkinan besar akan menyulitkan penelusuran kembali bentuk aslinya;
3.      Ada beberapa bentuk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman arti.
Oleh karena itu, kita sebaiknya memilih deretan I, yaitu tidak meluluhkan bunyi awal bentuk serapan yang berklutser.
F.     PROBLEMA AKIBAT PROSES MORFOLOGI UNSUR SERAPAN
Menurut (Muslich 2010:138) Pada dasarnya, bentuk serapan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1.      Bentuk serapan yang sudah lama menjadi keluarga bahasa Indonesia sehingga sudah tidak terasa lagi keasingannya. Bentuk serapan kelompok pertama dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia, termasuk proses morfologisnya.
2.      Bentuk serapan yang masih baru sehingga masih terasa keasingannya. Kelompok kedua ini belum dapat diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia.
Hampir semua bentuk serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibentuk dengan penambahan afiks atau pengulangan. Yang menjadi pertanyaan adalah “Apakah semua bentuk serapan mengikuti sistem pembentukan kata yang selama ini diterapkan dalam bentuk-bentuk bahasa Indonesia asli?” masalah ini timbul karena terdapat persaingan pemakaian pasangan konstruksi. Misalnya, menterjemahkan dan menerjemahkan, mensuplai dan menyuplai, memparkir dan memarkir, mengkalkulasi dan mengalkulasi. Mana yang benar? Konstruksi yang telah diasimilasikan ataukah yang belum diasimilasikan?.
Berdasarkan pengelompokkan bentuk serapan diatas, kiranya kita dapat menyikapi apakah bentuk terjemah sudah lama terserap kedalam bahasa Indonesia atau belum. Jika sudah lama, berarti bentuk serapan itu patut diperlakukan secara penuh mengikuti sistem bahasa Indonesia. Dengan demikian, apabila bentuk terjemah digabungkan dengan {meN-kan} akan menjadi menerjemahkan sebab, berdasarkan sistem bahasa Indonesia, for [p] yang mengawali bentuk dasar akan luluh apabila bergabung dengan afiks {meN-(kan/i)} dan {peN-(an)}.
G.    PROBLEMA AKIBAT PERLAKUKAN BENTUK MAJEMUK
Problema morfologis terakhir yang berhasil dicatat yaitu problema akibat bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu benuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap satu kesatuan dan bentuk majemuk yang dianggap renggang.
Pendapat Pertama
(unsur-unsur padu)
Pendapat Kedua
(unsur-unsur renggang)
Tanggung jawab
Tanggung jawab           pertanggungan jawab
Warga negara
Warga negara           kewargaan negara
Sebar luas
Sebar luas           menyebarkan luas

Kesimpulannya dapat diketahui bahwa pendapat yang benar adalah pendapat pertama, karena suatu bentuk dikatakan bentuk majemuk apabila unsur-unsurnya pekat dan padu. Jika sebaliknya, unsur-unsurnya longgar maka tidak dapat dikatakan bentuk majemuk, tetapi frase.
DAFTAR PUSTAKA:
Masnur,Muslich.2010. Tata Bentuk Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar